Thursday, November 27, 2008

Sayakah Pahlawan itu?

Lukisan itu indah sekali. Sebuah pemandangan heroik pasukan berkuda yang tengah berbaris kokoh. Kuda-kudanya berdiri gagah dan berbaris rapi ditunggangi prajurit-prajurit dengan mata tajam penuh semangat, kepulan debu padang pasir dan warna jingga langit senja yang berawan tipis menambah hidup sang lukiskan. Satu kuda di depan barisan itu nampak berbeda dari yang lainnya, lebih gagah dan lebih indah aksesorinya. Tetapi anehnya, kuda itu tidak ada penunggangnya. Di bawah lukisan itu tertulis sebuah pertanyaan dalam bahasa arab, mataa jaa-a Shalahuddin? yang berati kapan Shalahuddin datang?

Saya tidak melihat lukisan yang dipamerkan di sebuah festival di Kuwait itu, tapi kira-kira seperti itulah Dr. Thariq Suaidan menggambarkan lukisan itu dalam sebuah acara yang diliput channel Iqra, Saudi Arabia. "Kalaam faarig!" (omong kosong!) Dr. Suaidan menanggapi lukisan yang digambarkannya itu. "Para pahlawan seperti Shalahuddin bukan untuk dinanti, tapi harus dilahirkan," sambungnya.

Saya lalu teringat pada buku Anis Matta, Mencari Pahlawan Indonesia. Semangat buku itu sama dengan semangat tanggapan Dr. Suaidan terhadap lukisan tadi. Bahwa pahlawan itu tidak diturunkan dari langit yang tinggal kita tunggu saja. Lalu saya pun meraba diri, sayakah pahlawan itu? Seketika, kesadaran memberikan gambaran yang sangat jelas tentang begitu banyaknya kekurangan saya, sekaligus gambaran betapa berat dan panjangnya jalan menuju kejayaan. Hingga kemenangan itu semakin sulit dirasionalkan. Semua kondisi sulit ini hampir menjawab pertanyaan saya, bahwa saya bukanlah pahlawan itu. Tapi kata Anis Matta, pahlawan juga manusia biasa. Saya sedikit terhibur.

Jika kehadiran pahlawan itu bukan sesuatu yang cukup dinantikan tapi harus dilahirkan, saya berpikir apa yang bisa diperbuat untuk menghadirkan pahlawan oleh orang-orang biasa seperti saya, seorang karyawan? Atau ibu saya, seorang ibu rumah tangga? Atau adik-kakak saya, yang bukan orang yang memiliki posisi penting?

Kemudian saya kembali bertanya, mungkinkah saya pahlawan itu? Atau kalau tidak, mungkinkah satu dari keluarga saya pahlawan itu? Kalau tidak, mungkinkah satu di antara anak-anak saya kelak? Atau seseorang dari kampung saya? Atau seseorang di tanah air ini? Ah, sesungguhnya saya teramat ingin, sayalah pahlawan itu. Atau paling tidak anak-anak sayalah pahlawan itu.

Semakin asyik saya berpikir tentang pahlawan. Lalu saya sering membandingkan, ketika seusiaku, para pahlawan sudah berbuat apa? Misalnya, ketika seusiaku (bahkan lebih muda dariku) seorang Imam Syahid Hasan Al-Banna sudah mengasas organisasi Islam terbesar abad ini, Ikhwanul Muslimin. Lalu bagaimana dengan saya? Terlalu jauh, lalu saya ingat Jendral Sudirman di usia begitu muda dia sudah diangkat menjadi jendral, tokoh yg sangat disegani kawan maupun lawan.

Saya juga sering mencari-cari, adakah kebiasaan yang saat ini saya miliki yang akan menjadi benih dari karya-karya besar kepahlawanan? Mengingat apa yang pernah dikatakan Aristoteles bahwa keunggulan itu bukan suatu perbuatan, melainkan sebuah kebiasaan. Sayangnya, saya hampir tidak menemukannya.

Walau demikian, saya bersyukur karena saya punya orang-orang seperti Dr. Thariq Suaidan dan Anis Matta yang telah menanamkan benih-benih kepahlawanan dalam benak saya. Mungkin saat ini nilai-nilai kepahlawanan itu baru sekedar mimpi dan lintasan pikiran yang menari-nari di benak. Tetapi, seiring dengan waktu, saya yakin persepsi itu akan mengkristal, dan pada momentumnya yang tepat akan menjadi kekuatan besar yang melahirkan karya besar kepahlawanan. Insya Allah.

Sekali lagi, kalau bukan oleh saya, mungkin satu dari anggota keluarga saya. Atau satu dari anak-anak saya kelak. Atau paling tidak satu dari kampung saya. Yang pasti pahlawan itu akan lahir dari orang-orang yang dalam benaknya sudah tertanam benih-benih kepahlawanan. Kehadiran mereka akan menjawab kekhawatiran sejarah yang, kata Anis Matta, sedang mengalami kemandulan dalam melahirkan pahlawan. Insya Allah.

Akhirnya saya teringat pada sebuah pesan dalam pepatah Arab:
"Serupailah orang-orang terhormat, jika kalian tidak bisa sama persis seperti mereka. Karena menyerupai orang-orang terhormat itu adalah kemenangan".

Dikutip dari: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1011832

No comments:

Post a Comment